Senin, 12 Juli 2010

Sakit dan Acceptance

Saya mempunyai seorang teman yang sedang terbaring sakit di sebuah rumah sakit di Surabaya. Begitu melihat status di FB, saya merasa dia melakukan penolakan yang sangat terhadap sakitnya. Pada saat saya menjenguknya, dia katakana penolakan itu sebagai afirmasi pada dirinya sendiri. Tapi saya rasa tidak. Coba anda perhatikan kalimat ini.

“saya disini bukan karena saya sakit, akan tetapi karena saya beristirahat “
“dokter bilang saya baru boleh pulang 5 hari lagi, tapi maaf saja, dua hari lagi saya sembuh dan akan pulang!”
“saya sudah melakukan banyak hal untuk sakit DBD saya, tapi ternyata dokter berkata bahwa saya juga terserang typhus. Sia sia saja usaha besar-besaran saya selama ini”

Dari ketiga kalimat yang saya sebutkan diatas Nampak jelas bahwa teman saya ini melakukan penolakan yang begitu kerasnya karena dia merasa sebagai orang yang tidak berguna ketika ia terbaring lemah di rumah sakit. Tak ada yang bisa dilakukannya sedangkan kegiatan yang harus ia lakukan ada banyak sekali. Maklum, teman saya ini tipe pekerja keras. Sehingga begitu tubuhnya tidak mampu lagi, ia merasa begitu menderita.
Saya begitu kasihan melihat kondisi psikologis teman saya ini. Saya rasa dia mengalami sedikit depresi akan kondisinya. Namun didepan saya dia berusaha untuk berkata “Im fine…no problem” sedangkan yang saya dapati adalah “im sick, im useless…”
Semakin ada penolakan pada diri teman saya, saya rasa sakitnya tak akan cepat sembuh. Saya berusaha untuk membantu melakukan afirmasi, saya coba katakan,
“iya, tubuhmu saat ini butuh istirahat untuk mempersiapkan aktifitasmu selanjutnya yang akan sangat menyenangkan. Namun selama tubuhmu beristirahat, kamu tetap dapat berkarya sebab otak dan pikiran kamu tak akan pernah tidur”
Saya katakan itu sebab saya tahu seorang yang mengalami typhus tidak akan diizinkan untuk berjalan-jalan selama satu bulan. Apalagi bila teman saya ini tidak merasa sakit dan berusaha berkata bahwa dia baik baik saja…maka akan semakin lama pemulihannya sebab ia akan selalu melanggar apa yang dikatakan dokter karena ia berfikir bahwa ia tidak sedang sakit.
Dua hari kemudian saya coba menghubungi teman saya lagi sebab saya ingat betul disaat saya menjenguknya tak ada satu penunggu baik dari teman maupun keluarganya yang berada di tempat itu. Saya kira dia juga merasakan kekecewaan terhadap hal itu. Hal ini Nampak ketika ia berkata :
“kamu teman satu angkatan saya yang pertama datang kemari”
“nggak tahu sih, mungkin mereka tidak tahu kalau saya sakit, padahal sudah saya tulis di status FB saya. Ada juga satu teman saya yang menelpon, tapi belum kemari”
See…..sepertinya dia merasakan kesepian ditengah sakitnya. Saya coba hubungi dia dan menawarkan diri untuk menemaninya disana sambil membawakan buku bacaan untuknya karena saya tahu dia akan sangat bosan bila hanya berbaring di tempat tidur itu.
Tapi dia menolak. Lagi lagi dia melakukan penolakan bahwa faktanya dia sendirian, faktanya dia sedang sakit dan tidak ada yang perduli dengannya namun dia juga tidak ingin dikasihani. Dia menolak kehadiran saya karena dia pikir saya datang untuk mengasihani dia sedangkan dia tidak mau dikasihani.
Kondisi ini dinamakan kondisi denial pada keadaan sakit. Bila sakitnya tambah parah, kemungkinan besar teman saya ini melakukan bargaining. Dalam kondisi denial ini teman saya akan memprotes Tuhan akan kondisinya. “mengapa saya?” , “mengapa sekarang?”, “kenapa bukan orang lain ?”
nanti bila ia berada di tahap bargaining ia bisa melakukannya kepada dokter atau kepada Tuhan. “begini saja dokter, bagaimana kalau saya rawat jalan saja, karena urusan saya banyak sekali yang harus saya selesaikan?” atau “Tuhan apabila engkau menyembuhkan saya, saya berjanji akan lebih taat kepada mu”
bila kondisi teman saya ini tetap buruk atau malah lebih parah, ia aka mulai denial kembali. Merasa bahwa Tuhan itu tidak menyayanginya,Tuhan tidak adil dan lain sebagainya.
Setelah ia marah, namun tak berdampak apapun sebab ia tetap terkapar di rumah sakit, ia mulai melakukan acceptance. Acceptance ini dibedakan menjadi dua.
Acceptance yang baik yaitu acceptance yang menerima kondisinya dengan ikhlas dan dapat mengambil hikmah pada kondisinya. Acceptance yang buruk ialah ketika ia sudah pasrah. Hal ini dapat di lihat dari perbedaan kalimat berikut,
“ya ..saya memang sakit, tapi justru karena saya sakit, saya bisa memiliki waktu untuk lebih merenungi banyak hal….ternyata ini yang Tuhan kehendaki dari saya” (good acceptance)
“ya mau bagaimana lagi! Ya sudah lah..memang begini keadaan saya!” (bad acceptance)
Semoga saja teman saya yang satu ini segera mendapatkan good acceptancenya.



“ketika kamu terjatuh, kamu masih bisa memungut apa yang ada di sekitarmu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar